Senin, 26 September 2016

PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN APBN

Perencanaan dan Penganggaran APBN

Setiap tahun pemerintah menghimpun dan membelanjakan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN. Istilah APBN yang dipakai di Indonesia secara formal mengacu pada anggaran pendapatan dan belanja negara yang dikelola pemerintah pusat.

Oleh karena mengacu pada anggaran yang dikelola pemerintah pusat, maka Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah Daerah (APBD) dan BUMN tidak termasuk. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, APBN harus diwujudkan dalam bentuk undang-undang, dalam hal ini presiden berkewajiban menyusun dan mengajukan Rancangan APBN (RAPBN) kepada DPR.

Oleh karena itu, proses penyusunan anggaran negara merupakan rangkaian aktivitas yang melibatkan banyak pihak, termasuk semua departemen dan lembaga, dan DPR. Peran aktif DPR dalam proses penyusunan APBN dalam beberapa tahun terakhir ini, telah menjadikan proses penyusunan APBN menjadi lebih demokratis, transparan, obyektif, dan lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Landasan Hukum Anggaran Negara tercantum pada Pasal 23 UUD 1945 Pasal 23 (1) yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 23 (1): Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 23 (2): Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan Dewan Perwakilan Daerah.

Pasal 23 (3): Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

Pelaksanaan perencanaan dan penyusunan penganggaran tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, khususnya Pasal 13, 14, dan 15. Pasal 13 dari UU No 17/2003.
Beberapa kesimpulan penting landasan hukum penyusunan APBN adalah pertama, pemerintah mengusulkan RAPBN dan DPR membahas usulan pemerintah tersebut dengan hak untuk melakukan pembahasan, perubahan, dan pemberian persetujuan atau penolakan.

Kedua, persetujuan APBN oleh DPR yang terinci menunjukkan bahwa DPR dan pemerintah bermaksud agar pelaksanaan APBN dengan asas kedisiplinan anggaran tinggi.

Ketiga, dalam rangka itu pula siklus dan jadwal penyusunan dan pembahasan anggaran sangat ketat dan rigid (kaku). Dan keempat, pelaksanaan anggaran dilaksanakan oleh pemerintah (eksekutif) melalui departemen dan lembaga pengguna anggaran serta diawasi oleh DPR, auditor internal dan eksternal.
Siklus anggaran

Secara singkat tahapan dalam proses perencanaan dan penyusunan APBN dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pertama, tahap pendahuluan. Tahap ini diawali dengan persiapan rancangan APBN oleh pemerintah, antara lain meliputi penentuan asumsi dasar APBN, perkiraan penerimaan dan pengeluaran, skala prioritas dan penyusunan budget exercise.

Pada tahapan ini juga diadakan rapat komisi antara masing-masing komisi dengan mitra kerjanya (departemen/lembaga teknis). Tahapan ini diakhiri dengan proses finalisasi penyusunan RAPBN oleh pemerintah.

Kedua, tahap pengajuan, pembahasan, dan penetapan APBN. Tahapan dimulai dengan pidato presiden sebagai pengantar RUU APBN dan Nota Keuangan. Selanjutnya akan dilakukan pembahasan baik antara menteri keuangan dan Panitia Anggaran DPR, maupun antara komisi-komisi dengan departemen/lembaga teknis terkait.

Hasil dari pembahasan ini adalah UU APBN, yang di dalamnya memuat satuan anggaran (dulu satuan 3, sekarang analog dengan anggaran satuan kerja di departemen dan lembaga) sebagai bagian tak terpisahkan dari undang-undang tersebut.

Satuan anggaran adalah dokumen anggaran yang menetapkan alokasi dana per departemen/lembaga, sektor, subsektor, program dan proyek/kegiatan.

Untuk membiayai tugas umum pemerintah dan pembangunan, departemen/lembaga mengajukan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKAKL) kepada Depkeu dan Bappenas untuk kemudian dibahas menjadi Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan diverifikasi sebelum proses pembayaran. Proses ini harus diselesaikan dari Oktober sampai Desember.

Dalam pelaksanaan APBN dibuat petunjuk berupa keputusan presiden (kepres) sebagai Pedoman Pelaksanaan APBN. Dalam melaksanakan pembayaran, kepala kantor/pemimpin proyek di masing-masing kementerian dan lembaga mengajukan Surat Permintaan Pembayaran kepada Kantor Wilayah Perbendaharaan Negara (KPPN).

Tahap ketiga, pengawasan APBN. Fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan APBN dilakukan oleh pengawas fungsional baik eksternal maupun internal pemerintah.

Sebelum tahun anggaran berakhir sekitar bulan November, pemerintah dalam hal ini Menkeu membuat laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan melaporkannya dalam bentuk Rancangan Perhitungan Anggaran Negara (RUU PAN), yang paling lambat lima belas bulan setelah berakhirnya pelaksanaan APBN tahun anggaran bersangkutan.

Laporan ini disusun atas dasar realisasi yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apabila hasil pemeriksaan perhitungan dan pertanggungjawaban pelaksanaan yang dituangkan dalam RUU PAN disetujui oleh BPK, maka RUU PAN tersebut diajukan ke DPR guna mendapat pengesahan oleh DPR menjadi UU Perhitungan Anggaran Negara (UU PAN) tahun anggaran berkenaan.

Pengelolaan APBN sejak dari disahkannya UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara mengalami perubahan dalam proses penganggaran, dari sejak perencanaan hingga ke pelaksanaan anggaran. Kelebihan dan kekurangan

Perubahan tersebut dilakukan karena dalam proses penganggaran yang selama ini berlaku dinilai mempunyai beberapa kelemahan, antara lain, pertama, kurang terkaitnya antara kebijakan, perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaannya. Kedua, penganggaran yang berhorizon satu tahun. Ketiga, penganggaran yang berdasarkan masukan (inputs). Keempat, terpisahnya penyusunan anggaran rutin dan anggaran pembangunan.

Di lain pihak, perencanaan dan proses penganggaran APBN yang baru tersebut dalam pelaksanaannya masih mengandung beberapa permasalahan dan kekurangan. Pertama, jajaran pemerintah, khususnya Depkeu yang terlibat dan Panitia Anggaran DPR praktis bekerja hampir sepanjang tahun, mulai Maret hingga Oktober, untuk membahas dan mengesahkan APBN. Mekanisme birokrasi kepemerintahan di tingkat eksekutif dan jadwal serta tata tertib persidangan di DPR sering tidak sejalan.

Kedua, persetujuan DPR atas APBN sampai ke jenis belanja, organisasi, dan fungsi memang bertujuan baik dan ideal untuk disiplin anggaran. Namun, sering kali menyulitkan kedua belah pihak karena kedalaman materi dan waktu yang mendesak sering kali memerlukan kompromi- kompromi.

Ketergantungan eksekutif sebagai perencana dan pelaksana anggaran dengan legislatif sebagai pemegang kendali budget menjadi sangat tinggi sehingga mengurangi fleksibilitas eksekutif dalam kebijakan fiskal.

Ketiga, di pihak eksekutif, khususnya departemen dan lembaga pengguna anggaran yang saat ini belum terbiasa dengan disiplin anggaran, cenderung resisten dengan sistem yang mengharuskan akuntabilitas tinggi. Akibatnya keterlambatan pencairan terjadi dan program pembangunan terkorbankan.

Keempat, keterlambatan juga terjadi karena masih terjadi dalam beberapa kasus tumpang tindih pekerjaan penyusunan dan verifikasi DIPA dan RKAKL di Direktorat Jenderal Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK) dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Depkeu. Namun, diharapkan hal tersebut tidak terjadi lagi di tahun 2006.

Dalam tahap perencanaan anggaran, reformasi yang dilakukan adalah perubahan anggaran dual budgeting system (DBS) menjadi unified budgeting system (UBS). DBS yang selama ini dikenal adalah berupa pemisahan antara belanja rutin dan belanja pembangunan. Adapun UBS (penganggaran terpadu) adalah penyusunan rencana keuangan tahunan yang dilakukan secara terintegrasi untuk seluruh jenis belanja guna melaksanakan kegiatan pemerintah dengan prinsip efisiensi alokasi dana.

Selain perubahan dalam siklus perencanaan, reformasi di bidang keuangan negara juga berdampak positif terhadap siklus ketiga dari APBN, yaitu pelaksanaan anggaran. Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pengguna anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar